STRATEGI pemasaran (marketing) tak hanya terjadi di dunia ekonomi. Saat
ini dunia politik pun mengenal pola tersebut.Ya,pemasaran politik.Bukan
cuma itu. Dunia politik saat ini juga mengenal istilah keagenan politik
(political dealership) untuk memasarkan seorang calon pemimpin.Wajar
jika muncul ungkapan, untuk mencari leadership saat ini dibutuhkan
dealership( baca: Mencari Leadership via Dealership).
Sejatinya,sejak akhir abad silam pemasaran politik (political marketing)
demikian mengemuka dan menjadi fenomena global jelang pelaksanaan
pemilihan umum (pemilu). Dalam bukunya Election Campaigning in East and
Southeast Asia: Globalization of Political Marketing (2006), Christian
Schafferer menyatakan bahwa globalisasi telah membentuk pola pemasaran
politik yang unik di Asia Tenggara dalam hal kegiatan kampanye politik.
Bentuk itu,menurut dia, sedikit berbeda dengan pola yang diimpor dari
negeri asalnya,Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan kajian
Profesor Bidang Marketing DePaul University, Bruce L Newman,
prinsip-prinsip pemasaran yang dilakukan di bidang ekonomi juga
diberlakukan dalam bidang politik. Seorang politikus,misalnya,harus
memberikan nilai lebih kepada konstituennya dengan memperbaiki kualitas
hidup,menciptakan banyak keuntungan,dan memperkecil pembiayaan.
Caranya,menganalisis,mengembangkan,mengeksekusi, serta mengelola
strategi kampanye guna menciptakan opini publik untuk memenangi pemilu.
?Politik saat ini benar-benar dipengaruhi orientasi pemasaran. Metode
paling jitu yang digunakan perusahaan besar di AS ternyata juga
digunakan para politikus,?kata Newman dalam papernya, ?A Review in
Political Marketing: Lessons from Recent Presidential Elections?.
Penerapan prinsip marketingdalam praktik politik di satu sisi memang
bisa membantu para politikus menjadi lebih tanggap akan kebutuhan
konstituennya.Namun di sisi lain juga bisa menjadi bersifat lebih
manipulatif. Untuk berkampanye layaknya menjual produk, hal itu
dilakukan dengan berbagai cara promosi di media masa dalam berbagai
bentuk,termasuk internet. Hal inilah yang dilakukan Barack Obama untuk
menjadi Presiden Amerika Serikat (baca: Pasukan di balik Sukses Barry).
Konon,kampanye Obama melalui situs jaringan sosial Facebook menelan
biaya hingga USD467.000 atau sekitar Rp5,6 miliar untuk kurs saat ini.
Semua kegiatan kampanye Obama dilakukan secara
transparan.Mulaisumberpendanaan yang mayoritas sumbangan dari masyarakat
hingga siapa saja tim konsultan politik di balik kesuksesannya.
Indonesia memang tidak ingin disebut sebagai negara dengan prinsip
demokrasi liberal layaknya AS. Sebab demokrasi Pancasila-lah yang
diterapkan.
Namun faktanya sistem demokrasi AS diterapkan
mentah-mentah di negeri ini, termasuk strategi pemasaran politik itu.
?Saya prihatin Indonesia langsung mengadopsi semua sistem demokrasi AS,
padahal ternyata di lapangan praktiknya demokrasi kita tidak terpola dan
sama sekali jauh berbeda dibandingkan demokrasi di AS.
Menurut
saya sebaiknya kita kembali ke demokrasi Pancasila mengacu pada UUD
1945 secara murni dan konsekuen,? ujar eks aktivis 1998 John Helmi Mempi
kepada SINDO. Mengenai dana kampanye, Indonesia merupakan salah satu
negara di dunia yang memberlakukan dana publik. Pemerintah masih ikut
bertanggung jawab menyuntikkan dana kampanye kepada setiap partai
politik yang lolos verifikasi.
Berdasarkan catatan
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA),
beberapa negara lain yang memberlakukan sistem serupa selain Indonesia
antara lain Korea Selatan, Taiwan, Turki, Serbia, Kroasia. Sementara
beberapa negara yang tidak menyediakan dana bantuan dari pemerintah
untuk kampanye adalah Timor-Timur,Kuwait, Nepal, Filipina,Yordania.
Pola pemasaran politik disebut- sebut mulai muncul di negeri ini sejak
kejatuhan rezim Soeharto pada era Reformasi 1998 silam.Sistem politik
demokrasi politik yang lebih terbuka, termasuk adopsi pemasaran politik
gaya AS,pun diterapkan di sini. Tidak aneh jika kini banyak bermunculan
lembaga-lembaga konsultan politik, dari yang sekadar sebagai lembaga
survei maupun yang juga menjadi tim sukses pemenangan kandidat menuju
kursi kekuasaan.
Sebagian pihak menyatakan ini euforia. Sebab
munculnya lembaga survei dan riset bak jamur yang tumbuh di musim hujan.
Sebut saja Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Indo
Barometer, Strategic Political Intelligence (Spin),Akbar Tandjung
Institute, Amien Rais Institute. Ini belum termasuk lembaga tangki
pemikir (think tanks) yang biasanya hanya melakukan penelitian kajian
secara kualitatif, tapi kini ikut-ikutan melakukan survei kuantitatif
tentang popularitas.
Riset tentang kepopuleran sebuah partai
atau calon presiden??bahkan gubernur?? menjadi sesuatu yang tampaknya
menjadi rutinitas berkala, terlebih jelang pemilu seperti sekarang
ini.Hal ini merupakan cara untuk mengetahui pola dan pemetaan calon
pemilih.Selain itu, pola ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan,
peluang, dan kelemahan kandidat. Di sisi lain,hal tersebut berguna untuk
mengukur kekuatan dan kelemahan lawan politik. Namun,konon strategi
pemasaran politik seperti ini tidak murah.
Jika Lembaga Survei
Indonesia saja memberikan patokan harga sebesar Rp200.000?1 juta per
responden mulai tingkat daerah hingga nasional, bisa dibayangkan berapa
harga yang harus dikeluarkan partai untuk membuat sebuah survei. Apalagi
jika harus menyewa konsultan politik sejak awal hingga akhir guna
meraih kemenangan pemilu. Harganya akan sangat mahal. Memang, tidak
semua partai akan menyewa sebuah lembaga untuk menjadi konsultan dari
awal hingga akhir. ?Partai kami sangat terbantu oleh kerja-kerja lembaga
survei yang mandiri dan kredibel.
Hasil-hasil survei bisa
menjadi alat pengukur suhu dan tracking berkala. Partai akan mampu
mengukur di mana posisinya,?kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas
Urbaningrum. Lantas, sebenarnya berapa biaya yang harus dikeluarkan
kandidat untuk berkampanye jika menggunakan jasa konsultan politik?
Sebagai gambaran, seandainya untuk beriklan di sebuah stasiun televisi
per hari mencapai Rp500 juta, diperkirakan dalam sebulan bisa mencapai
Rp15 miliar.
Tinggal dihitung berapa stasiun televisi yang
digunakan untuk beriklan itu.Setidaknya pola pemasaran politik seperti
sekarang ini juga melahirkan bisnis baru di dunia politik,yakni maraknya
para konsultan politik.(sindo//fit)
(smskampanye.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar