Rabu, 15 Agustus 2012

Konsultan Politik, Bisnis Baru Demokrasi

STRATEGI pemasaran (marketing) tak hanya terjadi di dunia ekonomi. Saat ini dunia politik pun mengenal pola tersebut.Ya,pemasaran politik.Bukan cuma itu. Dunia politik saat ini juga mengenal istilah keagenan politik (political dealership) untuk memasarkan seorang calon pemimpin.Wajar jika muncul ungkapan, untuk mencari leadership saat ini dibutuhkan dealership( baca: Mencari Leadership via Dealership).

Sejatinya,sejak akhir abad silam pemasaran politik (political marketing) demikian mengemuka dan menjadi fenomena global jelang pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Dalam bukunya Election Campaigning in East and Southeast Asia: Globalization of Political Marketing (2006), Christian Schafferer menyatakan bahwa globalisasi telah membentuk pola pemasaran politik yang unik di Asia Tenggara dalam hal kegiatan kampanye politik. Bentuk itu,menurut dia, sedikit berbeda dengan pola yang diimpor dari negeri asalnya,Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan kajian Profesor Bidang Marketing DePaul University, Bruce L Newman, prinsip-prinsip pemasaran yang dilakukan di bidang ekonomi juga diberlakukan dalam bidang politik. Seorang politikus,misalnya,harus memberikan nilai lebih kepada konstituennya dengan memperbaiki kualitas hidup,menciptakan banyak keuntungan,dan memperkecil pembiayaan.

Caranya,menganalisis,mengembangkan,mengeksekusi, serta mengelola strategi kampanye guna menciptakan opini publik untuk memenangi pemilu. ?Politik saat ini benar-benar dipengaruhi orientasi pemasaran. Metode paling jitu yang digunakan perusahaan besar di AS ternyata juga digunakan para politikus,?kata Newman dalam papernya, ?A Review in Political Marketing: Lessons from Recent Presidential Elections?.

Penerapan prinsip marketingdalam praktik politik di satu sisi memang bisa membantu para politikus menjadi lebih tanggap akan kebutuhan konstituennya.Namun di sisi lain juga bisa menjadi bersifat lebih manipulatif. Untuk berkampanye layaknya menjual produk, hal itu dilakukan dengan berbagai cara promosi di media masa dalam berbagai bentuk,termasuk internet. Hal inilah yang dilakukan Barack Obama untuk menjadi Presiden Amerika Serikat (baca: Pasukan di balik Sukses Barry). Konon,kampanye Obama melalui situs jaringan sosial Facebook menelan biaya hingga USD467.000 atau sekitar Rp5,6 miliar untuk kurs saat ini.

Semua kegiatan kampanye Obama dilakukan secara transparan.Mulaisumberpendanaan yang mayoritas sumbangan dari masyarakat hingga siapa saja tim konsultan politik di balik kesuksesannya. Indonesia memang tidak ingin disebut sebagai negara dengan prinsip demokrasi liberal layaknya AS. Sebab demokrasi Pancasila-lah yang diterapkan.

Namun faktanya sistem demokrasi AS diterapkan mentah-mentah di negeri ini, termasuk strategi pemasaran politik itu. ?Saya prihatin Indonesia langsung mengadopsi semua sistem demokrasi AS, padahal ternyata di lapangan praktiknya demokrasi kita tidak terpola dan sama sekali jauh berbeda dibandingkan demokrasi di AS.

Menurut saya sebaiknya kita kembali ke demokrasi Pancasila mengacu pada UUD 1945 secara murni dan konsekuen,? ujar eks aktivis 1998 John Helmi Mempi kepada SINDO. Mengenai dana kampanye, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memberlakukan dana publik. Pemerintah masih ikut bertanggung jawab menyuntikkan dana kampanye kepada setiap partai politik yang lolos verifikasi.

Berdasarkan catatan International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA), beberapa negara lain yang memberlakukan sistem serupa selain Indonesia antara lain Korea Selatan, Taiwan, Turki, Serbia, Kroasia. Sementara beberapa negara yang tidak menyediakan dana bantuan dari pemerintah untuk kampanye adalah Timor-Timur,Kuwait, Nepal, Filipina,Yordania.

Pola pemasaran politik disebut- sebut mulai muncul di negeri ini sejak kejatuhan rezim Soeharto pada era Reformasi 1998 silam.Sistem politik demokrasi politik yang lebih terbuka, termasuk adopsi pemasaran politik gaya AS,pun diterapkan di sini. Tidak aneh jika kini banyak bermunculan lembaga-lembaga konsultan politik, dari yang sekadar sebagai lembaga survei maupun yang juga menjadi tim sukses pemenangan kandidat menuju kursi kekuasaan.

Sebagian pihak menyatakan ini euforia. Sebab munculnya lembaga survei dan riset bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Sebut saja Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Indo Barometer, Strategic Political Intelligence (Spin),Akbar Tandjung Institute, Amien Rais Institute. Ini belum termasuk lembaga tangki pemikir (think tanks) yang biasanya hanya melakukan penelitian kajian secara kualitatif, tapi kini ikut-ikutan melakukan survei kuantitatif tentang popularitas.

Riset tentang kepopuleran sebuah partai atau calon presiden??bahkan gubernur?? menjadi sesuatu yang tampaknya menjadi rutinitas berkala, terlebih jelang pemilu seperti sekarang ini.Hal ini merupakan cara untuk mengetahui pola dan pemetaan calon pemilih.Selain itu, pola ini dilakukan untuk mengetahui kekuatan, peluang, dan kelemahan kandidat. Di sisi lain,hal tersebut berguna untuk mengukur kekuatan dan kelemahan lawan politik. Namun,konon strategi pemasaran politik seperti ini tidak murah.

Jika Lembaga Survei Indonesia saja memberikan patokan harga sebesar Rp200.000?1 juta per responden mulai tingkat daerah hingga nasional, bisa dibayangkan berapa harga yang harus dikeluarkan partai untuk membuat sebuah survei. Apalagi jika harus menyewa konsultan politik sejak awal hingga akhir guna meraih kemenangan pemilu. Harganya akan sangat mahal. Memang, tidak semua partai akan menyewa sebuah lembaga untuk menjadi konsultan dari awal hingga akhir. ?Partai kami sangat terbantu oleh kerja-kerja lembaga survei yang mandiri dan kredibel.

Hasil-hasil survei bisa menjadi alat pengukur suhu dan tracking berkala. Partai akan mampu mengukur di mana posisinya,?kata Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Lantas, sebenarnya berapa biaya yang harus dikeluarkan kandidat untuk berkampanye jika menggunakan jasa konsultan politik? Sebagai gambaran, seandainya untuk beriklan di sebuah stasiun televisi per hari mencapai Rp500 juta, diperkirakan dalam sebulan bisa mencapai Rp15 miliar.

Tinggal dihitung berapa stasiun televisi yang digunakan untuk beriklan itu.Setidaknya pola pemasaran politik seperti sekarang ini juga melahirkan bisnis baru di dunia politik,yakni maraknya para konsultan politik.(sindo//fit)

(smskampanye.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar